Tiga Asas Sistem Ekonomi Islam
Dengan melakukan istiqra` (penelahaan induktif) terhadap hukum-hukum
syara' yang menyangkut masalah ekonomi, akan dapat disimpulkan bahwa
Sistem Ekonomi (an-nizham al-iqtishady) dalam Islam mencakup pembahasan
yang menjelaskan bagaimana memperoleh harta kekayaan (barang dan jasa),
bagaimana mengelola (mengkonsumsi dan mengembangkan) harta tersebut,
serta bagaimana mendistribusikan kekayaan yang ada. Sehingga ketika
membahas ekonomi, Islam hanya membahas masalah bagaimana cara memperoleh
kepemilikan harta kekayaan, bagaimana mengelola kepemilikan harta
kekayaan yang telah dimiliki, serta cara mendistribusikan kekayaan
tersebut di tengah-tengah masyarakat.
Atas dasar pandangan di atas, maka menurut Zallum (1983), Az-Zain
(1981), An-Nabhaniy (1990), dan Abdullah (1990), asas-asas yang
membangun sistem ekonomi Islam terdiri dari atas tiga asas, yakni :
(1) bagaimana harta diperoleh yakni menyangkut kepemilikan (al-milkiyah),
(2) bagaimana pengelolaan kepemilikan harta (tasharruf fil milkiyah), serta
(3) bagaimana distribusi kekayaan di tengah masyarakat (tauzi'ul tsarwah bayna an-naas).
Asas Pertama : Kepemilikan (Al-Milkiyyah)
An-Nabhaniy (1990) mengatakan, kepemilikan adalah izin As-Syari' (Allah
SWT) untuk memanfaatkan zat (benda) tertentu. Oleh karena itu,
kepemilikan tersebut hanya ditentukan berdasarkan ketetapan dari
As-Syari' (Allah SWT) terhadap zat tersebut, serta sebab-sebab
pemilikannya. Jika demikian, maka pemilikan atas suatu zat tertentu,
tentu bukan semata berasal dari zat itu sendiri, ataupun dan karakter
dasarnya yang memberikan manfaat atau tidak. Akan tetapi kepemilikan
tersebut berasal dari adanya izin yang diberikan Allah SWT untuk
memiliki zat tersebut, sehingga melahirkan akibatnya, yaitu adanya
pemilikan atas zat tersebut menjadi sah menurut hukum Islam. Minuman
keras dan babi, misalnya, dalam pandangan ekonomi kapitalis memang boleh
dimiliki, karena zat bendanya memberikan manfaat-manfaat. Tetapi
menurut Islam, minuman keras dan babi tidak boleh dimiliki, karena Allah
SWT tidak memberikan izin kepada manusia untuk memilikinya.
Makna Kepemilikan
Kepemilikan (property), dari segi kepemilikan itu sendiri, pada
hakikatnya merupakan milik Allah SWT, dimana Allah SWT adalah Pemilik
kepemilikan tersebut sekaligus juga Allahlah sebagai Dzat Yang memiliki
kekayaan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :
"Dan berikanlah kepada mereka, harta (milik) Allah yang telah Dia berikan kepada kalian." (QS. An-Nuur : 33)
Oleh karena itu, harta kekayaan itu adalah milik Allah semata. Kemudian
Allah SWT telah menyerahkan harta kekayaan kepada manusia untuk diatur
dan dibagikan kepada mereka. Karena itulah maka sebenarnya manusia telah
diberi hak untuk memiliki dan menguasai harta tersebut. Sebagaimana
firman-Nya :
"Dan nafkahkanlah apa saja. yang kalian telah dijadikan (oleh Allah) berkuasa terhadapnya. "(QS. Al-Hadid : 7)
"Dan (Allah) membanyakkan harta dan anak-anakmu." (QS. Nuh : 12)
Dari sinilah kita temukan, bahwa ketika Allah SWT menjelaskan tentang
status asal kepemilikan harta kekayaan tersebut, Allah SWT menyandarkan
kepada diri-Nya, dimana Allah SWT menyatakan "Maalillah" (harta kekayaan
milik Allah). Sementara ketika Allah SWT menjelaskan tentang perubahan
kepemilikan kepada manusia, maka Allah menyandarkan kepemilikan tersebut
kepada manusia. Dimana Allah SWT menyatakan dengan firman-Nya :
"Maka berikanlah kepada mereka harta-hartanya. "(QS. An-Nisaa` : 6)
"Ambillah dari harta-harta mereka. "(QS. Al-Baqarah : 279)
"Dan harta-harta yang kalian usahakan." (QS. At-Taubah : 24)
"Dan hartanya tidak bermanfaat baginya, bila ia telah binasa." (QS. Al-Lail :11)
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa hak milik yang telah diserahkan
kepada manusia (istikhlaf) tersebut bersifat umum bagi setiap manusia
secara keseluruhan. Sehingga manusia memiliki hak milik tersebut
bukanlah sebagai kepemilikan bersifat rill. Sebab pada dasarnya manusia
hanya diberi wewenang untuk menguasai hak milik tersebut. Oleh karena
itu agar manusia benar-benar secara riil memiliki harta kekayaan (hak
milik), maka Islam memberikan syarat yaitu harus ada izin dari Allah SWT
kepada orang tersebut untuk memiliki harta kekayaan tersebut. Oleh
karena itu, harta kekayaan tersebut hanya bisa dimiliki oleh seseorang
apabila orang yang bersangkutan mendapat izin dari Allah SWT untuk
memilikinya.
Oleh karena itu, Allah memberikan izin untuk memiliki beberapa zat dan
melarang memiliki zat yang lain. Allah SWT juga telah memberikan izin
terhadap beberapa transaksi serta melarang bentuk-bentuk transaksi yang
lain. Allah SWT melarang seorang muslim untuk memiliki minuman keras dan
babi, sebagaimana Allah SWT melarang siapa pun yang menjadi warga
negara Islam untuk memiliki harta hasil riba dan perjudian. Tetapi Allah
SWT memberi izin untuk melakukan jual-beli, bahkan menghalalkannya,
disamping melarang dan mengharamkan riba.
Macam-Macam Kepemilikan
Zallum (1983); Az-Zain (1981); An-Nabhaniy (1990); Abdullah (1990)
mengemukakan bahwa kepemilikan (property) menurut pandangan Islam
dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu : (1). Kepemilikan individu
(private property); (2) kepemilikan umum (collective property); dan (3)
kepemilikan negara (state property).
1) Kepemilikan Individu (private property)
Kepemilikan individu adalah ketetapan hukum syara' yang berlaku bagi zat
ataupun manfaat (jasa) tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang
mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh
kompensasi dari barang tersebut (jika barangnya diambil kegunaannya oleh
orang lain seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan
zatnya seperti dibeli). Oleh karena itu setiap orang bisa memiliki
kekayaan dengan sebab-sebab (cara-cara) kepemilikan tertentu.
An-Nabhaniy (1990) mengemukakan, dengan mengkaji secara komprehemsif
hukum-hukum syara' yang menentukan pemilikan seseorang atas harta
tersebut, maka akan nampak bahwa sebab-sebab kepemilikan tersebut
terbatas pada lima sebab berikut ini :
(1) Bekerja.
(2) Warisan.
(3) Kebutuhan akan harta untuk mempertahankan hidup.
(4) Harta pemberian negara yang diberikan kepada rakyat.
(5) Harta-harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apapun.
2). Kepemilikan Umum (collective property)
Kepemilikan umum adalah izin As-Syari' kepada suatu komunitas untuk
sama-sama memanfaatkan benda. Benda-benda yang termasuk dalam kategori
kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh Allah SWT
dan Rasulullah saw bahwa benda-benda tersebut untuk suatu komunitas
dimana mereka masing-masing saling membutuhkan. Berkaitan dengan
pemilikan umum ini, hukum Islam melarang benda tersebut dikuasai hanya
oleh seseorang akan sekelompok kecil orang. Dan pengertian di atas maka
benda-benda yang termasuk dalam kepemilikan umum dapat dikelompokkan
menjadi tiga kelompok:
a. Benda-benda yang merupakan fasilitas umum, dimana kalau tidak ada di
dalam suatu negeri atau suatu komunitas, maka akan menyebabkan kesulitan
hidup dan masyarakat akan berpencar ke sana kemari mencarinya
Yang merupakan fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai
kepentingan manusia secara umum. Rasulullah saw telah menjelaskan dalam
sebuah hadits bagaimana sifat fasilitas umum tersebut. Dari lbnu Abbas,
bahwa Nabi saw bersabda:
"Kaum muslimin berserikat dalam tiga barang, yaitu air, padang rumput, dan api."(HR. Abu Daud)
Anas ra meriwayatkan hadits dari lbnu Abbas ra. tersebut dengan
menambahkan: “wa tsamanuhu haram” (dan harganya haram), yang berarti
dilarang untuk diperjualbelikan. lbnu Majah juga meriwayatkan dari Abu
Hurairah, bahwa Nabi saw bersabda :
"Tiga hal yang tidak akan pemah dilarang (untuk dimiliki siapapun) yaitu air, padang rumput, dan api." (HR. Ibnu Majah).
Dalam hal ini terdapat dalil, bahwa manusia memang sama-sama membutuhkan
air, padang rumput dan api, serta terdapat larangan bagi individu untuk
memilikinya. Namun perlu ditegaskan disini bahwa sifat benda-benda yang
menjadi fasilitas umum adalah adalah karena jumlahnya yang besar dan
menjadi kebutuhan umum masyarakat. Namun jika jumlahnya terbatas seperti
sumur-sumur kecil di perkampungan dan sejenisnya, maka dapat dimiliki
oleh individu dan dalam kondisi demikian air sumur tersebut merupakan
milik individu. Rasulullah saw telah membolehkan air di Thaif dan
Khaibar untuk dimiliki oleh individu-individu penduduk.
Oleh karena itu jelaslah, bahwa sesuatu yang merupakan kepentingan umum
adalah apa saja yang kalau tidak terpenuhi dalam suatu komunitas, apapun
komunitasnya, semisal komunitas pedesaan, perkotaan, ataupun suatu
negeri, maka komunitas tersebut akan bercerai-berai guna mendapatkannya.
Oleh karena itu, benda tersebut dianggap sebagai fasilitas umum.
b. Benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu secara perorangan.
Yang juga dapat dikategorikan sebagai kepemilikan umum adalah
benda-benda yang sifat pembentukannya mencegah hanya dimiliki oleh
pribadi. Hal ini karena benda-benda tersebut merupakan benda yang
tercakup kemanfaatan umum (kelompok pertama di atas). Yang termasuk ke
dalam kelompok ini adalah jalan raya, sungai, masjid dan fasilitas umum
lainnya. Benda-benda ini dari segi bahwa merupakan fasilitas umum adalah
hampir sama dengan kelompok pertama. Namun meskipun benda-benda
tersebut seperti jenis yang pertama, namun benda-benda tersebut berbeda
dengan kelompok yang pertama, dari segi sifatnya, bahwa benda tersebut
tidak bisa dimiliki oleh individu. Barang-barang kelompok pertama dapat
dimiliki oleh individu jika jumlahnya kecil dan tidak menjadi sumber
kebutuhan suatu komunitas. Misalnya sumur air, mungkin saja dimiliki
oleh individu, namun jika sumur air tersebut dibutuhkan oleh suatu
komunitas maka individu tersebut dilarang memilikinya. Berbeda dengan
jalan raya, mesjid, sungai dan lain-lain yang memang tidak mungkin
dimiliki oleh individu.
Oleh karena itu, meskipun dalil hadits pada poin a di atas bisa
diberlakukan pada kelompok b ini, yaitu sama-sama sebagai fasilitas
umum, tetapi benda-benda kelompok kedua ini tidak bisa dimiliki
individu. Ini meliputi jalan, sungai, laut, danau, tanah-tanah umum,
teluk, selat dan sebagainya. Yang juga bisa disetarakan dengan hal-hal
tadi adalah masjid, tempat-tempat penampungan, dan sebagainya.
c. Bahan tambang yang jumlahnya sangat besar
Bahan tambang dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu bahan tambang
yang sedikit (terbatas) jumlahnya, yang tidak termasuk berjumlah besar
menurut ukuran individu, serta bahan tambang yang sangat banyak (hampir
tidak terbatas) jumlahnya. Barang tambang yang sedikit (terbatas)
jumlahnya termasuk milik pribadi, serta boleh dimiliki secara pribadi,
dan terhadap bahan tambang tersebut diberlakukan hukum rikaz (barang
temuan), yang darinya harus dikeluarkan khumus, yakni 1/5 bagiannya
(20%).
Adapun bahan tambang yang sangat banyak (hampir tidak terbatas)
jumlahnya, yang tidak mungkin dihabiskan oleh individu, maka bahan
tambang tersebut termasuk milik umum (collective property), dan tidak
boleh dimiliki secara pribadi. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari
Abyadh bin Hamal, bahwa ia telah meminta kepada Rasulullah saw untuk
dibolehkan mengelola sebuah tambang garam. Lalu Rasulullah saw
memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki dari majelis
tersebut bertanya:
"Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya?
Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu bagaikan air yang
mengalir." Rasulullah saw kemudian menarik kembali tambang tersebut
darinya. (HR. At-Tirmidzi)
Hadits tersebut menyerupakan tambang garam dengan air yang mengalir,
karena jumlahnya yang sangat besar. Hadits ini juga menjelaskan bahwa
Rasulullah saw memberikan tambang garam kepada Abyadh bin Hamal yang
menunjukkan kebolehan memiliki tambang. Namun tatkala beliau mengetahui
bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang mengalir (jumlahnya sangat
besar), maka beliau mencabut pemberiannya dan melarang dimiliki oleh
pribadi, karena tambang tersebut merupakan milik umum.
Ketetapan hukum ini, yakni ketetapan bahwa tambang yang sangat besar
jumlahnya adalah milik umum, meliputi semua tambang, baik tambang yang
nampak yang bisa diperoleh tanpa harus susah payah, yang bisa didapatkan
oleh manusia, serta bisa mereka manfaatkan, semisal tambang garam,
tambang batu mulia dan sebagainya; ataupun tambang yang berada di dalam
perut bumi, yang tidak bisa diperoleh selain dengan kerja dan susah
payah, semisal tambang emas, perak, besi, tembaga, timah, bauksit,
marmer, dan sejenisnya. Baik berbentuk padat, semisal kristal ataupun
berbentuk cair, semisal minyak bumi, maka semuanya adalah tambang yang
termasuk dalam pengertian hadits di atas.
3). Kepemilikan Negara (state properti)
Harta-harta yang terrnasuk milik negara adalah harta yang merupakan hak
seluruh kaum muslimin yang pengelolaannya menjadi wewenang negara,
dimana negara dapat memberikan kepada sebagian warga negara, sesuai
dengan kebijakannya. Makna pengelolaan oleh negara ini adalah adanya
kekuasaan yang dimiliki negara untuk mengelolanya semisal harta fai’,
kharaj, jizyah dan sebagainya.
Meskipun harta milik umum dan milik negara pengelolaannya dilakukan oleh
negara, namun ada perbedaan antara kedua bentuk hak milik tersebut.
Harta yang termasuk milik umum pada dasamya tidak boleh diberikan negara
kepada siapapun, meskipun negara dapat membolehkan kepada orang-orang
untuk mengambil dan memanfaatkannya. Berbeda dengan hak milik negara
dimana negara berhak untuk memberikan harta tersebut kepada individu
tertentu sesuai dengan kebijakan negara.
Sebagai contoh terhadap air, tambang garam, padang rumput, lapangan dan
lain-lain tidak boleh sama sekali negara memberikannya kepada orang
tertentu, meskipun semua orang boleh memanfaatkannya secara bersama-sama
sesuai dengan keperluannya. Berbeda dengan harta kharaj yang boleh
diberikan kepada para petani saja sedangkan yang lain tidak. Juga
dibolehkan harta kharaj dipergunakan untuk keperluan belanja negara saja
tanpa dibagikan kepada seorangpun.
Asas Kedua : Pengelolaan Kepemilikan (at-tasharruf fi al milkiyah)
Pengelolaan kepemilikan adalah sekumpulan tatacara (kaifiyah) --yang
berupa hukum-hukum syara’-- yang wajib dipegang seorang muslim tatkala
ia memanfaatkan harta yang dimilikinya (Abdullah, 1990).
Mengapa seorang muslim wajib menggunakan cara-cara yang dibenarkan Asy
Syari’ (Allah SWT) dalam mengelola harta miliknya? Sebab, harta dalam
pandangan Islam pada hakikatnya adalah milik Allah SWT. Maka dari itu,
ketika Allah telah menyerahkan kepada manusia untuk menguasai harta,
artinya adalah hanya melalui izin-Nya saja seorang muslim akan dinilai
sah memanfaatkan harta tersebut. Izin Allah itu terwujud dalam bentuk
sekumpulan hukum-hukum syara’.
Walhasil, setiap muslim yang telah secara sah memiliki harta tertentu
maka ia berhak memanfaatkan dan mengembangkan hartanya. Hanya saja dalam
pengelolaan harta yang telah dimilikinya tersebut seorang ia wajib
terikat dengan ketentuan-ketentuan hukum syara’ yang berkaitan dengan
pengelolaan kepemilikan.
Secara garis besar, pengelolaan kepemilikan mencakup dua kegiatan.
Pertama, pembelanjaan harta (infaqul mal). Kedua, pengembangan harta
(tanmiyatul mal).
1) Pembelanjaan Harta
Pembelanjaan harta (infaqul mal) adalah pemberian harta tanpa adanya
kompensasi (An-Nabhani, 1990). Dalam pembelanjaan harta milik individu
yang ada, Islam memberikan tuntunan bahwa harta tersebut pertama-tama
haruslah dimanfaatkan untuk nafkah wajib seperti nafkah keluarga, infak
fi sabilillah, membayar zakat, dan lain-lain. Kemudian nafkah sunnah
seperti sedekah, hadiah dan lain-lain. Baru kemudian dimanfaatkan untuk
hal-hal yang mubah. Dan hendaknya harta tersebut tidak dimanfaatkan
untuk sesuatu yang terlarang seperti untuk membeli barang-barang yang
haram seperti minuman keras, babi, dan lain-lain.
2) Pengembangan Harta
Pengembangan harta (tanmiyatul mal) adalah kegiatan memperbanyak jumlah
harta yang telah dimiliki (An-Nabhani, 1990). Seorang muslim yang ingin
mengembangkan harta yang telah dimiliki, wajib terikat dengan ketentuan
Islam berkaitan dengan pengembangan harta. Secara umum Islam telah
memberikan tuntunan pengembangan harta melalui cara-cara yang sah
seperti jual-beli, kerja sama syirkah yang Islami dalam bidang
pertanian, perindustrian, maupun perdagangan. Selain Islam juga melarang
pengembangan harta yang terlarang seperti dengan jalan aktivitas riba,
judi, serta aktivitas terlarang lainnya.
Pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan umum
(collective property) itu adalah hak negara, karena negara adalah wakil
ummat. Meskipun menyerahkan kepada negara untuk mengelolanya, namun
Allah SWT telah melarang negara untuk mengelola kepemilikan umum
(collective property) tersebut dengan jalan menyerahkan penguasaannya
kepada orang tertentu. Sementara mengelola dengan selain dengan cara
tersebut diperbolehkan, asal tetap berpijak kepada hukum-hukum yang
telah dijelaskan oleh syara'.
Adapun pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan
negara (state property) dan kepemilikan individu (private property),
nampak jelas dalam hukum-hukum baitul mal serta hukum-hukum muamalah,
seperti jual-beli, gadai (rahn), dan sebagainya. As Syari' juga telah
memperbolehkan negara dan individu untuk mengelola masing-masing
kepemilikannya, dengan cara tukar menukar (mubadalah) atau diberikan
untuk orang tertentu ataupun dengan cara lain, asal tetap berpijak
kepada hukum-hukum yang telah dijelaskan oleh syara’.
Asas Ketiga : Distribusi Kekayaan di Tengah-tengah Manusia
Karena distribusi kekayaan termasuk masalah yang sangat penting, maka
Islam memberikan juga berbagai ketentuan yang berkaitan dengan hal ini.
Mekanisme distribusi kekayaan terwujud dalam sekumpulan hukum syara’
yang ditetapkan untuk menjamin pemenuhan barang dan jasa bagi setiap
individu rakyat. Mekanisme ini dilakukan dengan mengikuti ketentuan
sebab-sebab kepemilikan (misalnya, bekerja) serta akad-akad muamalah
yang wajar (misalnya jual-beli dan ijarah).
Namun demikian, perbedaan potensi individu dalam masalah kemampuan dan
pemenuhan terhadap suatu kebutuhan, bisa menyebabkan perbedaan
distribusi kekayaan tersebut di antara mereka. Selain itu perbedaan
antara masing-masing individu mungkin saja menyebabkan terjadinya
kesalahan dalam distribusi kekayaan. Kemudian kesalahan tersebut akan
membawa konsekuensi terdistribusikannya kekayaan kepada segelintir orang
saja, sementara yang lain kekurangan, sebagaimana yang terjadi akibat
penimbunan alat tukar yang fixed, seperti emas dan perak.
Oleh karena itu, syara' melarang perputaran kekayaan hanya di antara
orang-orang kaya namun mewajibkan perputaran tersebut terjadi di antara
semua orang. Allah SWT berfirman :
"Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu." (QS. Al-Hasyr : 7)
Di samping itu syara' juga telah mengharamkan penimbunan emas dan perak
(harta kekayaan) meskipun zakatnya tetap dikeluarkan. Dalam hal ini
Allah SWT berfirman :
"Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya
pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan
mendapat) siksa yang pedih." (QS. At-Taubah : 34)
Secara umum mekanisme yang ditempuh oleh sistem ekonomi Islam
dikelompokkan menjadi dua, yakni mekanisme ekonomi dan mekanisme
non-ekonomi.
Mekanisme Ekonomi
Mekanisme ekonomi adalah mekanisme melalui aktivitas ekonomi yang
bersifat produktif, berupa berbagai kegiatan pengembangan harta
(tanmiyatul mal) dalam akad-akad muamalah dan sebab-sebab kepemilikan
(asbab at-tamalluk). Berbagai cara dala mekanisme ekonomi ini, antara
lain :
1. Membuka kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya sebab-sebab
kepemilikan dalam kepemilikan individu (misalnya, bekerja di sektor
pertanian, industru, dan perdagangan)
2. Memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya pengembangan
harta (tanmiyah mal) melalui kegiatan investasi (misalnya, dengan
syirkah inan, mudharabah, dan sebagainya).
3. Larangan menimbun harta benda (uang, emas, dan perak) walaupun telah
dikeluarkan zakatnya. Harta yang ditimbun tidak akan berfungsi ekonomi.
Pada gilirannya akan menghambat distribusi karena tidak terjadi
perputaran harta.
4. Mengatasi peredaran dan pemusatan kekayaan di satu daerah tertentu
saja misalnya dengan memeratakan peredaran modal dan mendorong
tersebarnya pusat-pusat pertumbuhan.
5. Larangan kegiatan monopoli, serta berbagai penipuan yang dapat mendistorsi pasar.
6. Larangan judi, riba, korupsi, pemberian suap dan hadiah kepada
penguasa. Semua ini ujung-ujungnya akan mengakumulasikan kekayaan pada
pihak yang kuat semata (seperti penguasa atau konglomerat).
7. Memberikan kepada rakyat hak pemanfaatan barang-barang (SDA) milik
umum (al- milkiyah al-amah) yang dikelola negara seperti hasil hutan,
barang tambang, minyak, listrik, air dan sebagainya demi kesejahteraan
rakyat.
Mekanisme Non-Ekonomi
Mekanisme non-ekonomi adalah mekanisme yang tidak melalui aktivitas
ekonomi yang produktif, melainkan melalui aktivitas non-produktif,
misalnya pemberian (hibah, shadakah, zakat, dll) atau warisan. Mekanisme
non-ekonomi dimaksudkan untuk melengkapi mekanisme ekonomi. Yaitu untuk
mengatasi distribusi kekayaan yang tidak berjalan sempurna jika hanya
mengandalkan mekanisme ekonomi semata.
Mekanisme non-ekonomi diperlukan baik karena adanya sebab-sebab alamiah
maupun non-alamiah. Sebab alamiah misalnya keadaan alam yang tandus,
badan yang cacat, akal yang lemah atau terjadinya musibah bencana alam.
Semua ini akan dapat menimbulkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan
terhambatnya distribusi kekayaan kepada orang-orang yang memiliki
keadaan tersebut. Dengan mekanisme ekonomi biasa, distribusi kekayaan
bisa tidak berjalan karena orang-orang yang memiliki hambatan yang
bersifat alamiah tadi tidak dapat mengikuti kompetisi kegiatan ekonomi
secara normal sebagaimana orang lain. Bila dibiarkan saja, orang-orang
itu, termasuk mereka yang tertimpa musibah (kecelakaan, bencana alam dan
sebagainya) makin terpinggirkan secara ekonomi. Mereka akan menjadi
masyarakat yang rentan terhadap perubahan ekonomi. Bila terus berlanjut,
bisa memicu munculnya problema sosial seperti kriminalitas (pencurian,
perampokan), tindakan asusila (pelacuran) dan sebagainya, bahkan mungkin
revolusi sosial.
Mekanisme non-ekonomi juga diperlukan karena adanya sebab-sebab
non-alamiah, yaitu adanya penyimpangan mekanisme ekonomi. Penyimpangan
mekanisme ekonomi ini jika dibiarkan akan bisa menimbulkan ketimpangan
distribusi kekayaan. Bila penyimpangan terjadi, negara wajib
menghilangkannya. Misalnya jika terjadi monopoli, hambatan masuk
(barrier to entry) --baik administratif maupun non-adminitratif-- dan
sebagainya, atau kejahatan dalam mekanisme ekonomi (misalnya
penimbunan), harus segera dihilangkan oleh negara.
Mekanisme non-ekonomi bertujuan agar di tengah masyarakat segera
terwujud keseimbangan (al-tawazun) ekonomi, yang akan ditempuh dengan
beberapa cara. Pendistribusian harta dengan mekanisme non-ekonomi antara
lain adalah :
1. Pemberian harta negara kepada warga negara yang dinilai memerlukan.
2. Pemberian harta zakat yang dibayarkan oleh muzakki kepada para mustahik.
3. Pemberian infaq, sedekah, wakaf, hibah dan hadiah dari orang yang mampu kepada yang memerlukan.
4. Pembagian harta waris kepada ahli waris dan lain-lain.
Demikianlah gambaran sekilas tentang asas-asas sistem ekonomi Islam.
Untuk memberikan pemahaman yang lebih luas dan dalam, maka perincian
seluruh aspek yang dikemukakan di atas perlu dilakukan. Wallahu a'lam
bishawab.[ ]
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.H. 1990. Dirasat fil Fikril Islami. Beirut : Darul Bayariq
An-Nabhaniy,T. 1990. An-Nizham Al-lqtishadi Fil Islam. Beirut : Darul Ummah.
Az-Zain, S. A. 1981. Syari'at Islam : Dalam Perbincangan Ekonomi,
Politik dan Sosial Sebagai Studi Perbandingan (Terjemahan). Bandung :
Husaini.
Zallum, A.Q. 1983. Al-Amwal fi Daulah Al Khilafah. Beirut : Darul llmu lil Malayiin.
Berbicara tentang ekonomi Islam, maka kita akan membincangkan suatu
sistem yang mengatur permasalahan ekonomi, baik dalam aspek mikro maupun
makro, yang berdasarkan kepada syari’at Islam. Suatu hal yang pasti,
sumber pemikiran ekonomi Islam adalah aqidah dan ideologi Islam.
Sehingga ekonomi Islam bersifat khas, unik dan berbeda dengan sistem
ekonomi kapitalis ataupun sistem ekonomi sosialis/komunis.
Dari sini dapat dinyatakan, bahwa ekonomi Islam bukan merupakan sistem
ekonomi campuran (yang biasa disebut dalam berbagai literatur dengan
“sistem ekonomi jam bandul”). Sering dikatakan kalangan akademisi,
sistem ekonomi Islam lebih condong ke arah sosialis karena mengangkat
persamaan dan keadilan sehingga sistem ekonomi Islam dilukiskan dengan
jam bandul yang bergerak/condong ke kiri.
Pendapat mereka tersebut di dasarkan kepada hanya ada dua macam sistem
perekonomian di dunia yaitu sitem ekonomi kapitalis (arah kanan dalam
jam bandul) dan sistem ekonomi sosialis/komunis (arah kiri dalam jam
bandul), dan saat ini sistem perekonomian dunia tidak murni
masing-masing sistem ekonomi tersebut, tetapi sudah
bercampur/berkolaborasi di antara bagian-bagian sistem ekonomi yang ada
membentuk sistem ekonomi campuran. Sistem ekonomi campuran ini berada di
antara dua kutub (kapitalis dan sosialis/komunis) tergantung ke arah
mana condongnya. Jadi para pengikut pendapat ini, tidak mengakui
keberadaan sistem ekonomi lain selain ke dua sistem ekonomi tersebut dan
kalaupun diakui maka akan digolongkan sebagai sistem ekonomi campuran.
Pendapat ini lemah argumentasinya, pengikutnya cenderung hanya mengekor
ekonom-ekonom Barat yang sengaja membatasi hanya dua sistem ekonomi,
sehingga sistem ekonomi kapitalis sebagai sistem ekonomi yang menguasai
dunia tetap memegang hegemoninya. Para pengikut pendapat ini tidak
mempunyai kemandirian dalam memegang suatu prinisip ideologis, karena
mereka memandang permasalahan ekonomi dari sudut kapitalis sedangkan
mereka sendiri tidak secara keseluruhan menganut kapitalis dan tidak
memahami realitas metode berpikir ideologi kapitalis.
Kekhasan Ekonomi Islam yang Membedakannya dengan Sistem Ekonomi Lainnya.
1. Ekonomi Islam memisahkan pembahasan ilmu ekonomi dengan sistem ekonomi.
Hal-hal tentang pengadaan dan produksi barang/jasa merupakan bagian dari
ilmu ekonomi. Dengan demikian ilmu ekonomi hanya sebagai teknologi dan
sains murni yang mempelajari bagaimana manusia dapat meningkatkan,
mengembangkan produksi baik dari segi kuantitas dan kualitas serta
berlangsung dengan efisien dan efektif. Sehingga ilmu ekonomi termasuk
ilmu alam yang tidak dipengaruhi oleh ideologi atau nilai-nilai
pandangan hidup tertentu dan bisa dimiliki oleh bangsa atau umat manapun
tergantung kemampuan manusia dalam mengolah dan mengembangkan ilmu
alam.
“(Dan) Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya.”(Al Jatsiah 13)
Dalam suatu riwayat Nabi saw. pernah memberi nasihat kepada orang yang
melakukan penyerbukan kurma. Setelah orang tersebut mengikuti nasihat
Nabi saw. ternyata ia mengalami kegagalan panen. Kemudia orang tersebut
menyampaikannya kepada Nabi saw., beliau bersabda :
“Kalian yang lebih tahu tentang (urusan) dunia kalian” (HR Muslim dari Anas ra.)
Maksudnya adalah urusan tentang masalah bagaimana teknik memproduksi dan
meningkatkan kualitas barang dan jasa, Nabi menyerahkan sepenuhnya
kepada manusia. Di sinilah Islam memberikan kebebasan kepada manusia
dalam mengembangkan ilmu ekonomi sebagai sains murni.
Dalam pembahasan sistem ekonomi yang sangat dipengaruhi oleh pandangan
hidup, maka Islam mengaturnya. Sistem ekonomi Islam mengatur tentang :
tata cara perolehan harta (konsep kepemilikan) ; tata cara pengelolaan
harta mulai dari pemanfaatan (konsumsi), pengembangan kepemilikan harta
(inivestasi) ; serta tata cara pendistribusian harta di tengah-tengah
masyarakat.
Semua tata cara tersebut diatur menurut syari’at Islam. Dalam bahasa
yang sederhana, bagaimana kita memperoleh dan mengelola harta, tidak
boleh ada unsur riba, judi, penipuan, dan lain-lainya.
Transaksi-taransaksi yang terjadi harus sah menurut Islam dan jenis
usaha yang dilakukanpun harus jenis usaha yang halal.
Pendistribusian harta di masyarakat merupakan perkara yang sangat
penting. Hal ini disebabkan Islam memandang permasalahan ekonomi muncul
jika individu-individu tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok
hidupnya yang meliputi pakaian, makanan, perumahan, pendidikan dan
kesehatan serta jaminan keamanan. Maka jalan pemecahannya adalah dengan
mengatur pendistribusian harta di tengah-tengah masyarakat agar berjalan
dengan adil dan benar dan negara wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan
pokok setiap warga negaranya.
Jadi masalah pokok ekonomi adalah jika ada manusia apalagi banyak manusia yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok hidupnya.
Masalah pokok ekonomi tidak terletak pada faktor kelangkaan. Misalkan
saja di Inidonesia, sebagian besar anggota masyarakat masih banyak yang
miskin. Apakah permasalahan tersebut timbul karena faktor kelangkaan
barang dan jasa di Indonesia ? Tidak ! Karena kita bisa melihat banyak
anggota masyarakat yang miskin tetapi kita juga bisa melihat banyak
orang yang mempunyai kekayaan yang sangat berlebihan dan kita juga bisa
melihat banyak sumber daya-sumber daya (resources) yang tersedia dengan
melimpah, namun banyak anggota masyarakat yang tidak mampu
memanfaatkannya karena kemiskinannya.
Jelas, sumber permasalahan ekonomi tersebut bukan faktor kelangkaan.
Penyebab yang sebenarnya karena pemerintah tidak menjamin terpenuhinya
kebutuhan pokok setiap warga negaranya dan negara tidak mengatur
pendistribusian akan barang serta pendapatan dengan benar dan adil,
malah mencari jalan keluar dengan cara kapitalis yakni dengan mengejar
pertumbuhan ekonomi dan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada
segilintir orang pemilik kapital untuk menguasai aset-aset milik rakyat
(barang-barang publik) dan melakukan monopoli, serta menggencet jalan
mayoritas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Pemisahan pembahasan antara ilmu ekonomi dengan sistem ekonomi inilah
yang menjadi salah satu pembeda sistem ekonomi Islam dengan sistem
ekonomi kapitalis dan sosialis.
Ekonomi kapitalis misalnya, mencampuradukkan antara permasalahan yang
seharusnya dibahas dalam ilmu ekonomi dengan permasalahan yang diatur
sistem ekonomi. Begitu pula dalam memandang permasalahan ekonomi, sistem
ekonomi kapitalis memasukkannya dalam pembahasan ilmu ekonomi sekaligus
menjadi definisiniya, yaitu ilmu yang mempelajari bagaimana usaha
manusia untuk memenuhi kebutuhannya yang tak terbatas sedangkan
sumber-sumber yang tersedia terbatas adanya (scarcity). Sistem ekonomi
ini menyamakan antara kebutuhan dengan keinginan, padahal diantara
keduanya terdapat perbedaan yang jelas. Kebutuhan sifatnya terbatas dan
pasti, bila sudah terpenuhi maka seseorang tidak memerlukan lagi barang
atau jasa yang dibutuhkannya sampai jangka waktu tertentu hingga ia
membutuhkannya kembali. Sebaliknya keinginan bagi seseorang memungkinkan
tidak ada batasnya. Bila mendapatkan sesuatu ia ingin mendapatkan yang
lebih baik dan lebih tiniggi lagi. Jadi inilah yang dimaksud dengan
keinginan.
Melihat realitas tersebut, kita selama ini tidak sadar mempelajari dan
mengaplikasikan sistem ekonomi kapitalis yang dikira sebagai ilmu
ekonomi tanpa pemahaman bahwa ilmu ekonomi yang dipelajari di sekolah
dan perguruan tinggi merupakan bagian sistem ekonomi kapitalis.
Kekeliruan dalam memandang permasalahan ekonomi menyebabkan kekeliruan
pula dalam memecahkan permasalahan ekonomi. Sistem ekonomi kapitalis
menganggap permasalahan ekonomi muncul karena kelangkaan sumber-sumber
sedangkan kebutuhan manusia tidak terbatas. Maka sistem ekonomi ini
memberikan jalan keluar dengan cara bagaimana manusia dapat meningkatkan
produksi sebanyak-banyaknya untuk memenuhi kebutuhan yang menurutnya
tidak terbatas. Dalam tingkat makro jalan ini diaplikasikan dengan
mengejar pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya. Tentu saja masalah
apakah kebutuhan setiap individu terutama kebutuhan pokoknya sudah
terpenuhi atau belum, tidak diperhatikan sistem ekonomi kapitalis.
Tetapi yang diperhatikan adalah pemilik modal supaya mereka dapat
meningkatkan dan memperluas skala produksinya.
2. Sistem ekonomi Islam hanya bisa diterapkan jika daulah Khilafah Islamiyah sudah ditegakkan.
Penerapan sistem ekonomi Islam merupakan bagian integral dari penerapan
syari’at Islam sehingga sistem ekonomi Islam merupakan bagian yang tak
terlepaskan dengan syari’at-syari’at Islam lainnya. Penerapan syari’at
Islam dalam perekonomian merupakan suatu kewajiban seperti halnya
kewajiban setiap muslim untuk melaksanakan shalat, puasa, zakat dan
haji. Sehingga tidak patut bagi kita dalam kegiatan ekonomi mengabaikan
syari’at Islam dengan mengambil, melaksanakan dan mengagungkan sistem
ekonomi lainnya yang berlandaskan hukum kufur.
“(Dan) tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka.”(Al Ahzab 36)
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang
lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?”(Al
Maidah 50)
Konsekwensi logis dari upaya penerapan sistem ekonomi Islam maka negara
atau daulah harus menerapkan syari’at Islam secara menyeluruh termasuk
sistem negaranya yaitu daulah Khilafah Islamiyah. Jadi upaya penerapan
sistem ekonomi Islam secara bersamaan harus dilakukan pula usaha
membentuk dan mendirikan daulah Khilafah Islamiyah.
Karena itu, penegakkan daulah Khilafah Islamiyah merupakan syarat mutlak
bagi adanya sistem ekonomi Islam. Sebab tidak mungkin sistem ekonomi
Islam dapat diterapkan oleh negara yang tidak melaksanakan sistem Islam.
Misalnya Negara kapitalis Amerika Serikat tidak mungkin menerapkan
sistem ekonomi Islam dalam perekonomiannya selain hanya sistem ekonomi
kapitalis.
Tidak mungkin pula sistem ekonomi Islam diterapkan dalam negara sistem
republik. Karena sistem republik berdiri di atas pilar demokrasi yang
hanya memberikan hak kepada rakyat melalui wakil-wakilnya di parlemen
untuk membuat dan menentukan hukum.
Sistem ekonomi Islam juga tidak bisa diterapkan di atas negara yang
menganut sistem kerajaan. Karena sistem ini menjadikan raja berada di
atas perundang-undangan dan menentukan hukum itu sendiri.
Sedangkan dalam Islam manusia tidak berhak membuat dan menentukan hukum
karena itu hanyalah hak Allah saja. Sehingga tidak bisa dikatakan ketika
bank-bank syari’ah berdiri di suatu negara sedangkan sistem hukum,
sistem negaranya dan ideologinya bukan Islam, negara tersebut menerapkan
sistem ekonomi Islam. Tapi memang benar bahwa bank syari’ah dalam “hal
tertentu” merupakan suatu kegiatan ekonomi yang berlandaskan syari’at
Islam.
Bagi kaum muslimin jangan berpuas hati atau hanya berjuang sampai pada
banyak berdirinya bank syari’ah dan lembaga-lembaga keuangan Islam
lainnya. Tetapi terus berjuang sampai diterapkannya Islam secara
menyeluruh sebagai ideologi negara, sistem negara, dan sistem hukum.
Alasan lainnya bahwa sistem ekonomi Islam membutuhkan negara, karena
negara mempunyai kekuatan untuk menerapkan sistem ekonomi. Negara lah
yang menjadi pelaksana sistem ekonomi. Dengan adanya daulah Khilafah
Islamiyah, maka pengaturan perekonomian secara makro dan mikro dapat
dilakukan dengan sempurna sehingga sistem ekonomi Islam membawa efek
yang sempurna pula bagi kesejahteraan negara dan masyarakat.
3. Kegiatan ekonomi Islam didasarkan pada halal dan haram, bernilai ibadah serta membawa maslahat.
Setiap muslim yang meyakini kebenaran akidah Islam, menjadi kewajiban
bagi semuanya untuk selalu terikat dengan hukum syara’ (syari’at islam)
ketika melakukan perbuatan dengan hanya berdasarkan standar halal dan
haram yang sudah digariskan oleh Allah SWT. Maksudnya kita semua wajib
melaksanakan segala perintah Allah SWT (perbuatan halal) dan menjauhi
segala larangan-Nya (perbuatan haram).
Maka dalam melakukan kegiatan ekonomi pun kita wajib terikat dengan
hukum syara’, yaitu harus memilih dan melakukan kegiatan ekonomi yang
halal dan meninggalkan serta menghancurkan kegiatan ekonomi yang
diharamkan oleh Allah SWT. Hal ini sebagai implimentasi dari aqidah
Islam setiap muslim, sebagai wujud ketaatan dan bagian dari ibadah
kepada Allah. Di sisi Allah SWT, tindakan/perbuatan tersebut mempunyai
nilai yang menjadi bekal akhirat nanti.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh,
mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di
sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati.” (Al Baqarah 277)
Melakukan kegiatan ekonomi yang dihalalkan oleh Allah SWT, mendapatkan
nilai pahala di sisi Allah dan dijanjikan surga-Nya kepada kaum
muslimin. Sebaliknya melakukan kegiatan ekonomi yang diharamkan oleh
Allah, hanya akan mendapatkan dosa dengan ancaman siksa neraka.
Adapun kegiatan ekonomi yang dihalalkan seperti pertanian, perdagangan,
industri, dan seluruh kegiatan ekonomi sektor riil yang termasuk jenis
usaha yang halal.
“Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi.”(Al Baqarah 168)
Sedangkan kegiatan ekonomi yang diharamkan antara lain ; semua kegiatan
produksi dan perdagangan yang menyangkut barang atau jasa yang
diharamkan (seperti babi, minuman keras, pelacuran, perjudian, dll).
Contoh lainnya diharamkannya riba, sehingga bunga bank tidak boleh kita
ambil.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan
tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman.” (AlBaqarah 278)
Karena Allah SWT Maha mengetahui, maka syari’at Islam pasti mengandung
maslahat (manfaat). Jadi penerapan sistem ekonomi Islam sudah pasti akan
membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi kehidupan.
Kalau kita teliti berbagai krisis ekonomi yang melanda dunia sejak awal
abad ke 20 sampai sekarang, semuanya bersumber pada ketidakadilan
(menyangkut masalah distribusi) dan diterapkannya sistem ekonomi ribawi
(sistem bunga) dalam perekonomian yang berakibat pada biaya ekonomi
tinggi dan tumbuhnya kegiatan spekulasi di pasar uang dan pasar modal.
Sistem ribawi ini mengakibatkan transaksi dan kegiatan ekonomi sektor
moneter (sektor maya) menggelembung berpuluh kali lipat dibandingkan
dengan transaksi dalam kegiatan ekonomi sektor riil. Padahal yang
menopang perekonomian suatu negara adalah sektor riil.
Jadi memang terbukti diharamkannya sistem ekonomi ribawi, karena riba
membawa mudharat (keburukan) yang sangat besar bagi negara dan
masyarakat.
Di sinilah bedanya sistem ekonomi kapitalis dengan sistem ekonomi Islam.
Dalam sistem ekonomi kapitalis, kegiatan ekonomi dilakukan semata-mata
karena faktor manfaat dan materi saja, sehingga tidak memperhatikan
kepentingan orang banyak selain kepentingan pribadi, kelompok yang
merasa diuntungkan. Juga tidak ada jaminan kesempurnaan sistem ekonomi
ini bahkan membawa bencana yang menyengsarakan rakyat. Masalah lainnya,
amaliyah yang berdasarkan sistem ekonomi kapitalis adalah sia-sia, tidak
punya nilai di sisi Allah.
Kesimpulan.
Sistem ekonomi Islam bukanlah sistem ekonomi non riba plus zakat tetapi
lebih luas dari itu, bukan pula sistem ekonomi campuran, dan bukan pula
sistem ekonomi tanpa negara.
Tetapi sistem ekonomi Islam merupakan sistem ekonomi yang diatur menurut
syari’at Islam secara menyeluruh baik dalam aspek mikro maupun makro
yang mengatur tentang konsep kepemilikan, tata cara pengelolaan dan
pengembangan harta dan tata cara pendistribusiannya di tengah-tengah
masyarakat. Dianut oleh negara dengan ideologi, sistem hukum dan sistem
negara berdasarkan Islam yaitu daulah Khilafah Islamiyah.
No comments:
Post a Comment