Saturday 22 August 2015

Ekonomi Moneter Lahir dari Suatu Ideologi

Ekonomi Moneter Lahir dari Suatu Ideologi

Syekh Taqiyuddin An Nabhani menyatakan “Islam telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk melakukan pertukaran dengan mempergunakan apa saja yang dia sukai. Hanya saja, pertukaran barang dengan satuan uang tertentu itu telah ditunjukkan oleh Islam satu sistem moneter. Dan Islam telah menetapkan bagi kaum muslimin kepada jenis tertentu yaitu emas dan perak” (An Nidzam Al Iqtishadi fil Islam, hal 263). Kesimpulan ini berdasarkan beberapa alasan berikut:

1. Islam mengharamkan menimbun (al kanz) emas dan perak Larangan pada ayat di atas tertuju pada penimbunan emas dan perak, sebagai emas dan perak, dan sebagai mata uang dan alat tukar.

2. Islam telah mengaitkan emas dan perak dengan hukum-hukum yang baku, seperti diyat dalam pembunuhan sebesar 1000 dinar dan batasan bagi potong tangan atas pencurian atas harta yang mencapai ¼ dinar.

3. Rasulullah SAW telah menetapkan emas dan perak sebagai mata uang, dan menjadikan hanya emas dan perak sajalah sebagai standar uang. Dimana standar barang dan jasa akan dikembalikan kepada standar tersebut.

4. Ketika Allah SWT mewajibkan zakat uang, maka Allah telah mewajibkan zakat tersebut untuk emas dan perak, kemudian Allah menentukan nishab zakat tersebut dengan nishab emas dan perak.

5. Ketika Islam menetapkan hukum pertukaran uang (sharf), Islam menetapkan uang dalam bentuk emas dan perak. Sharf adalah menukarkan atau membeli uang dengan uang, baik dalam jenis yang sama seperti membeli emas dengan emas atau perak dengan perak, maupun antar jenis yang berbeda seperti membeli emas dengan perak.

Dengan dasar-dasar hukum tersebut, nyatalah bahwa sistem moneter bukanlah wilayah ilmu pengetahuan dan teknologi (madaniyah) yang bersifat umum (universal). Melainkan ia adalah bagian dari sebuah pandangan hidup (hadlarah) dan ideologi (mabda). Dalam Islam biasa disebut sebagai masalah aqidah dan syariat. Fakta menunjukkan bahwa sistem moneter adalah bukan ilmu pengetahuan yang umum milik semua umat, melainkan bersumber dari aqidah dan syariat tertentu. Sebagai contoh “bunga” merupakan problem moneter dalam sistem Kapitalis, namun menurut sistem Islam “bunga” bukanlah problem moneter, sebab membungakan uang adalah perbuatan riba yang haram hukumnya. Maka sistem moneter kapitalis tidak boleh diterapkan dalam masyarakat Islam.



Sistem Moneter Kapitalis adalah Sistem Ribawi

Dalam sistem ekonomi Kapitalis, riba atau suku bunga (interest) seperti nyawa yang tidak dapat dilepaskan begitu saja dari tubuhnya. Riba sudah sedemikian menyatu dalam sistem ekonomi Kapitalis.

Padahal sejak masa Yunani kuno, praktek riba tidak disukai dan dikecam habis. Aristoteles sendiri mengutuk sistem pembungaan uang dengan mengumpamakan riba sebagai ayam betina yang mandul dan tidak bisa bertelur.

Para pakar ekonomi Kapitalis zaman klasiklah yang telah memberi landasan pada sistem ekonomi Kapitalis modern mengenai keberadaan suku bunga/riba. Adam Smith dan Ricardo, misalnya menganggap bahwa bunga/riba itu seperti ganti rugi yang diberikan oleh si peminjam kepada pemilik uang atas keuntungan yang mungkin diperolehnya dari pemakaian uang tersebut. Dengan demikian, bunga uang/riba itu adalah hadiah atau balas jasa yang diberikan kepada seseorang karena dia telah bersedia menunda pemenuhan kebutuhannya. Sedangkan menurut Marshall, bunga uang dilihat dari aspek penawaran merupakan balas jasa terhadap pengorbanan bagi kesediaan seseorang untuk menyimpan sebagian pendapatannya ataupun jerih-payahnya melakukan penungguan (Principle of Economic, kar. Marshall, hal 534). Lebih lanjut Marshall menambahkan bahwa besarnya tingkat suku bunga/riba terletak pada titik potong antara grafik permintaan dan persediaan jumlah tabungan. Apabila jumlah tabungan amat banyak sementara permintaan merosot tentu saja akan menurunkan tingkat suku bunga. Sebaliknya jika tingkat permintaan tinggi sedangkan jumlah tabungan sedikit akan mengatrol tingkat suku bunga. Teori ini secara langsung menjelaskan bahwa tingkat permintaan, yang biasanya berbentuk aktivitas ekonomi riil dan relevan dengan tingkat penanaman modal amat berkait erat satu dengan yang lain. Artinya tingkat suku bunga berhubungan dengan jumlah tabungan dan aktivitas penanaman modal (usaha ekonomi riil). Tingkat suku bunga yang tinggi diyakini oleh sebagian masyarakat akan mampu memacu aktifitas ekonomi karena tersedianya dana yang melimpah.

Pendapat-pendapat semacam ini, oleh sebagian pakar ekonomi Kapitalis sendiri telah dibantah, dan pada intinya dijelaskan sebagai berikut:

1. Teori bunga di atas oleh Keynes dikritik habis. Ia mengungkapkan bahwa bunga bukanlah hadiah atas kesediaan orang untuk menyimpan uangnya. Sebab setiap orang bisa saja menabung tanpa meminjamkan uangnya untuk memperoleh bunga uang, sementara yang dipahami selama ini bahwasanya setiap orang hanya dapat memperoleh bunga dengan meminjamkan lagi uang tabungannya itu. Malah Keynes menyimpulkan bahwa suku bunga itu hanyalah pengaruh angan-angan manusia saja (highly conventional), dan setiap suku bunga uang terpaksa diterima oleh masyarakat, yang dalam pandangan orang kebanyakan terlihat menyenangkan.

2. Adapun hubungan tingkat suku bunga dengan struktur permodalan yang ada, Keynes mengatakan bahwa suku bunga di dalam suatu masyarakat yang berjalan normal akan sama dengan nol (tidak ada bunga), dan ia amat yakin bahwa manusia bisa memperoleh uang dengan jalan berusaha.

3. Dalam situasi resesi ekonomi atau pada saat terjadi economic boom fenomena bertambahnya penanaman modal dalam jumlah yang sama dengan tabungan masyarakat (karena tingkat suku bunga yang tinggi), adalah anggapan yang salah dan keliru. Sebagaimana yang kita rasakan pada saat resesi, meski bunga bank digenjot habis setinggi-tingginya dan berhasil mengumpulkan dana masyarakat puluhan triliun rupiah, tetap saja usaha dan penanaman modal dalam sektor ekonomi riil lumpuh.

4. Dilihat secara umum seseorang yang menambah jumlah tabungan atau depositonya –menurut Keynes—pada dasarnya akan mengurangi jumlah tabungan orang lain. Pengalaman selama Perang Dunia ke-II di AS saja terbukti bahwa pertumbuhan tabungan masyarakat justru lebih tinggi dengan bunga rendah (1%), dibandingkan dengan sebelumnya yang tingkat bunganya lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah tabungan tidak ditentukan oleh besarnya tingkat suku bunga, akan tetapi ditentukan oleh tingkat penanaman modal (aktifitas ekonomi riil). Begitu pula kita dapat melihat fenomena antara negara-negara industri (yang tingkat suku bunganya rendah) dan jumlah tabungan masyarakatnya besar dengan negara-negara miskin yang memiliki tingkat suku bunga amat tinggi, akan tetapi jumlah tabungannya tetap rendah.



Sikap Islam Terhadap Bunga/Riba

Riba adalah tambahan yang diberikan oleh debitur kepada kreditur atas pinjaman pokoknya, sebagai imbalan atas tempo pembayaran yang telah disyaratkan. Maka riba ini mengandung tiga unsur: (1) Kelebihan dari pokok pinjaman, (2) Kelebihan pembayaran sebagai imbalan tempo pembayaran, (3) Jumlah tambahan yang disyaratkan di dalam transaksi. Maka setiap transaksi yang mengandung tiga unsur ini dinamakan riba.

Dari pemaparan di atas dapat kita mengerti ketegasan Islam yang melarang praktek riba/bunga uang. Bahkan sikap Islam terhadap pelaku riba amat kerasnya sampai-sampai SWT dan Rasul-Nya menyatakan perang terhadap mereka.

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian.” (QS Al Baqarah: 278-279).

Menanggapi ayat-ayat riba yang tercantum dalam QS Al Baqarah ini (khususnya ayat 279) Abdullah bin Abbas mengatakan: “Siapa saja yang masih tetap mengambil riba dan tidak mau meninggalkannya, maka telah menjadi kewajiban bagi seorang Imam (Kepala Negara Khilafah Islamiyah) untuk menasehati orang-orang tersebut. Akan tetapi kalau mereka masih tetap membandel, maka Imam dibolehkan untuk memenggal lehernya/menghukum mati.” (lihat Tafsir Ibnu Katsir, jilid I, hal 331).

Rasulullah SAW telah menjelaskan tingkat kekejian terhadap riba dalam sabdanya: “Riba itu 73 macam. Sedangkan (dosa) yang paling ringan (dari macam-macam riba itu) adalah seperti seseorang yang menzinahi ibu kandungnya sendiri.” (HR Ibnu Majah). “Allah melaknat pemakan riba, yang memberi riba, saksi-saksi dan penulisnya.” (HR Bukhari Muslim)

Jadi, Islam sama sekali tidak mengenal kompromi terhadap riba/suku bunga. Islam mengharamkan secara pasti (qath’i), malah menjadikan perkara haramnya riba itu sebagai ma’lumun minad diin biddlarurah (perkara agama yang sudah diketahui halal/haramnya dalam agama secara otomatis).

Islam melarang pengembangan usaha sekaligus pengembangan harta melalui cara riba. Sebab riba adalah upaya mengeksploitasi usaha manusia lainnya, dan ini bagian dari aktifitas yang tidak mendorong seseorang untuk bekerja keras. Bayangkan saja pada puncak krisis yang lalu, dimana suku bunga deposito mencapai 50% pertahun, seseorang yang memiliki uang Rp 100 juta misalnya, cukup mendepositokan untuk jangka waktu satu bulan, akan memperoleh bunga ribanya satu bulan Rp 4,16 juta. Berarti, tanpa bekerjapun ia akan hidup lebih dari cukup. Dan ia tidak menerima resiko sekecil apapun serta tidak peduli dari mana bank memperoleh keuntungannya agar mampu membayar bunga yang ditawarkan kepada masyarakat. Ia tidak mengerti atau pura-pura tidak tahu, bahwa bankpun meminjamkan uangnya kepada usahawan-usahawan yang giat bekerja, mengeksploitasi mereka dan menekan agar mereka harus memperoleh keuntungan lebih tinggi dari bunga pinjaman bank.



Kekacauan Sektor Non Riil (Moneter): Pangkal Krisis Ekonomi

Bila dicermati, krisis ekonomi yang melanda Indonesia juga negara-negara yang lain, sesungguhnya dipicu oleh dua sebab utama.

Pertama, persoalan mata uang, dimana nilai mata uang suatu negara saat ini pasti terikat kepada mata uang negara lain (misalnya rupiah terhadap US dollar), tidak pada dirinya sendiri sedemikian sehingga nilainya tidak pernah stabil, dan bila nilai mata uang tertentu bergejolak, pasti akan mempengaruhi kestabilan mata uang tersebut.

Kedua, kenyataan bahwa uang tidak lagi dijadikan alat tukar saja, tapi juga sebagai komoditi yang diperdagangkan (dalam bursa valuta asing) dan ditarik keuntungan (interest) alias bunga alias riba dari setiap transaksi peminjaman atau penyimpanan uang.

Depresiasi rupiah lebih dari 300 persen terhadap US dollar itu sendiri dipicu oleh berbagai faktor ekonomi dan non ekonomi. Secara ekonomi depresiasi ditimbulkan oleh terus naiknya defisit neraca transaksi berjalan Indonesia dari 1,5% tahun 1993 menjadi 3,9% tahun 1997. Menurut Dr. Munawar Ismail (Krisis Nilai Tukar Rupiah, Sebab dan Solusinya, 1998), defisit neraca transaksi berjalan setidaknya mencerminkan ekspor lebih kecil daripada impor dan atau aliran pendapatan yang masuk lebih kecil daripada aliran pendapatan yang yang keluar (berarti kebutuhan dollar sebagai alat pembayaran luar negeri lebih besar dari yang diterima). Di samping itu, depresiasi rupiah terhadap dollar juga dipicu tingginya utang luar negeri sektor swasta yang sampai waktu itu ditaksir berjumlah 65 milyar dollar AS. Maka sekalipun mahal, pihak swasta harus terus memburu dollar untuk membayar hutang-hutangnya itu. Apalagi sebanyak 9,1 milyar US dollar hutang mereka akan jatuh tempo pada bulan Maret 1998 (saat krisis justru tengah memuncak).

Sedang faktor non ekonomi yang turut menjadi sebab terjadinya depresiasi rupiah antara lain adalah spekulasi. Para spekulan, demi meraup untung besar memborong dollar secara besar-besaran dan melempar rupiah (George Soros yang dituding PM Malaysia Mahathir Muhammad sebagai biang kekisruhan ekonomi kawasan ASEAN, konon pernah meraup untung 1,2 milyar US dollar setelah pada tahun 1982 memborong poundsterling).

Untuk menjaga agar rupiah tidak terus jatuh, BI ketika itu menarik jumlah rupiah yang beredar dan memperketat likuiditas, yang menyebabkan langkanya rupiah di pasaran. Naiknya suku bunga SBI, dan keinginan menjaga agar likuiditas bank tidak terganggu mendorong bank-bank menaikkan suku bunga simpanan, yang mendorong naiknya pula suku bunga pinjaman. Akibatnya, rangkaian krisis itu akhirnya memukul hampir semua sektor ekonomi.



Kembali ke Sistem Moneter Islam adalah Solusinya

Kesalahan pandangan terhadap kedudukan uang yang tidah hanya berfungsi sebagai alat tukar tapi juga sebagai komoditi, serta pembuatan mata uang tidak menggunakan basis emas atau perak sehingga nilai nominal tidak menyatu dengan nilai intrinsiknya, inilah yang menjadi biang dari segala keruwetan ekonomi kapitalis.

Mengatasi krisis ekonomi yang hingga kini masih terus berlangsung, di samping harus menata sektor riil, yang paling penting adalah meluruskan pandangan keliru tadi. Bila uang dikembalikan kepada fungsinya sebagai alat tukar saja, lantas mata uang dicetak dengan basis emas dan perak (dinar dan dirham), maka ekonomi akan betul-betul digerakkan oleh hanya sektor riil saja. Tidak akan ada sektor non riil (dalam arti orang berusaha menarik keuntungan dari mengkomoditaskan uang dalam pasar uang, bank, pasar modal dan sebagainya). Kalaupun ada usaha di sektor keuangan, itu tidaklah lebih sekedar katakanlah menyediakan uang untuk modal usaha yang diatur dengan sistem yang benar (misalnya bagi hasil). Dengan cara itu, sistem ekonomi yang bertumpu pada sektor riil akan berjalan mantap, tidak mudah goyang atau digoyang seperti saat ini. Disinilah keunggulan sistem ekonomi Islam.

Islam dengan pandangan yang bersumber dari Sang Pencipta Yang Maha Tahu, mengajarkan untuk hanya memfungsikan uang sebagai alat tukar saja. Maka dimana uang beredar, ia pasti hanya akan bertemu dengan barang dan jasa. Semakin banyak uang beredar, semakin banyak pula barang dan jasa yang diproduksi dan diserap pasar. Akibatnya pertumbuhan ekonomi akan terus meningkat, tanpa ada kekhawatiran terjadi kolaps seperti pertumbuhan ekonomi dalam sistem Kapatalis yang bersifat siklik itu.

Sebagai sebuah mabda, Islam memiliki pandangan yang khas mengenai sistem moneter. Syekh Abdul Qodim Zallum dalam kitab al Amwal fi Daulati al Khilafah mengatakan bahwa sistem moneter adalah sekumpulan kaidah pengadaan dan pengaturan keuangan dalam suatu negara. Yang paling penting dalam setiap keuangan adalah penentuan satuan dasar keuangan dimana kepada satuan itu dinisbahkan seluruh nilai berbagai mata uang lain. Apabila satuan dasar keuangan itu adalah emas, maka sistem keuangannya dinamakan sistem uang emas. Apabila satuan dasarnya perak, dinamakan sistem uang perak. Bila satuan dasarnya terdiri dari dua satuan mata uang (emas dan perak), dinamakan sistem dua logam. Dan bila nilai satuan mata uang tidak dihubungkan secara tetap dengan emas atau perak (baik terbuat dari logam lain seperti tembaga atau dibuat dari kertas), sistem keuangannya disebut sistem fiat money.

Dengan sistem dua logam, harus ditentukan suatu perbandingan yang sifatnya tetap dalam berat maupun kemurnian antara satuan mata uang emas dengan perak. Sehingga bisa diukur masing-masing nilai antara satu dengan lainnya, dan bisa diketahui nilai tukarnya. Misalnya, 1 dinar emas syar’i beratnya 4,25 gram emas dan 1 dirham perak syar’i beratnya 2,975 gram perak.

Dengan cara itu, nilai nominal dan nilai intrinsik dari mata uang dinar dan dirham akan menyatu. Artinya, nilai nominal mata uang yang berlaku akan dijaga oleh nilai intrinsiknya (nilai uang itu sebagai barang, yaitu emas atau perak itu sendiri), bukan oleh daya tukar terhadap mata uang lain. Maka, seberapa pun misalnya dollar Amerika naik nilainya, mata uang dinar akan mengikuti senilai dollar menghargai 4,25 gram emas yang terkandung dalam 1 dinar. Depresiasi (sekalipun semua faktor ekonomi dan non ekonomi yang memicunya ada) tidak akan terjadi. Sehingga gejolak ekonomi seperti ini sekarang ini insya Allah juga tidak akan terjadi.

Penurunan nilai dinar atau dirham memang masih mungkin terjadi. Yaitu ketika nilai emas yang menopang nilai nominal dinar itu, mengalami penurunan (biasa disebut inflasi emas). Diantaranya akibat ditemukannya emas dalam jumlah besar. Tapi keadaan ini kecil sekali kemungkinannya, oleh karena penemuan emas besar-besaran biasanya memerlukan usaha eksplorasi dan eksploitasi yang disamping memakan investasi besar, juga waktu yang lama. Tapi, andaipun hal ini terjadi, emas temuan itu akan disimpan menjadi cadangan devisa negara, tidak langsung dilempar ke pasaran. Disinilah pentingnya ketentuan emas sebagai milik umum harus dikuasai oleh negara.

No comments:

Post a Comment