Pelajaran ekonomi pertama yang dihadapi seorang pelajar di sekolah atau
pembahasan pertama mata kuliah pengantar ekonomi mikro di Fakultas
Ekonomi adalah pembahasan tentang kebutuhan manusia yang tidak terbatas
dan sumber-sumber ekonomi yang terbatas. Dalam berbagai literatur juga
disebutkan dalam bagian bab pertama tentang definisi ilmu ekonomi, yaitu
bagaimana memenuhi kebutuhan manusia yang tidak terbatas sedangkan
barang-barang yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan tersebut jumlahnya
terbatas.
Inilah permasalahan ekonomi yang menjadi
pijakan dalam Sistem Ekonomi Kapitalis sekaligus menjadi philosufi
hidupnya. Tidak ada perbedaan pandangan di antara para pakar ekonomi
Kapitalis sejak zaman Adam Smith sampai sekarang mengenai permasalahan
kelangkaan yang dihadapi kebutuhan manusia yang tidak terbatas.
Pokok Permasalahan Ekonomi yang Harus Dipecahkan
Berdasarkan
permasalahan yang menjadi pijakan dalam Sistem Ekonomi Kapitalis, maka
para pakar ekonomi Kapitalis melihat ada 3 pokok permasalahan ekonomi
yang harus dipecahkan masyarakat, yaitu:
1. Apa yang harus diproduksi dan dalam jumlah berapa (What)?
2.
Bagaimana sumber-sumber ekonomi (faktor-faktor produksi) yang
tersedia harus dipergunakan untuk memproduksi barang-barang tersebut
(How)? Dan,
3. Untuk Siapa barang-barang tersebut
diproduksi; atau bagaimana barang-barang tersebut dibagikan di antara
warga masyarakat (for Whom)? (lihat Boediono: 1993: 7)
Pembahasan
pertanyaan pertama, yakni “apa yang harus diproduksi” secara umum
menyangkut barang dan jasa yang dibutuhkan manusia, dan secara khusus
menyangkut sinkronisasi antara kebutuhan manusia dengan daya belinya.
Sedangkan
pembahasan “berapa jumlah barang yang diproduksi” merupakan pembahasan
yang menjadi jawaban dari tingkat permintaan (demand) total (agregat)
konsumen yang ditentukan oleh barang apa yang dia butuhkan dan sampai
tingkat berapa kemampuan belinya.
Pertanyaan kedua,
yakni “bagaimana menggunakan sumber-sumber ekonomi dalam memproduksi
barang-barang dan jasa yang dibutuhkan?” menyangkut pembahasan teknik
produksi. Hanya saja para pakar ekonomi Kapitalisme tidak memisahkan
pembahasan masalah ini dengan masalah-masalah ekonomi lainnya.
Terakhir,
tentang pertanyaan “untuk siapa barang-barang tersebut diproduksi?”
para pakar ekonomi Kapitalis menjawabnya dengan pembahasan tentang teori
harga, yaitu peranan harga dalam menentukan produksi – konsumsi -
distribusi.
Solusi Kapitalisme atas Permasalahan Kelangkaan
Kembali
ke persoalan kelangkaan. Jawaban atas permasalahan benturan antara
kebutuhan manusia yang tidak terbatas dengan terbatasnya (langkanya)
sumber-sumber ekonomi yang tersedia, adalah dengan menambah jumlah
produksi barang dan jasa setinggi-tingginya agar kebutuhan manusia yang
tidak terbatas dapat diperkecil jaraknya.
Meskipun
jawaban permasalahan tersebut pada akhirnya harus berbenturan dengan
tingkat permintaan konsumen, di mana tingkat permintaan konsumen
dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga tingkat produksi secara riil
bukanlah produksi sebanyak-banyaknya karena dapat mengakibatkan
inefisiensi dan ketidakseimbangan pasar (market disequilibrium), akan
tetapi philosufi pemecahan masalah (problem solving) ekonomi dengan cara
seperti ini menentukan bagaimana Sistem Ekonomi Kapitalis melihat
hakikat permasalahan ekonomi.
Dengan cara pandang ini,
maka bagi Sistem Ekonomi Kapitalis, solusi ekonomi yang harus ditempuh
secara mikro adalah peningkatan produksi sebanyak-banyaknya, dan secara
makro mengejar pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya.
Solusi Secara Mikro
Solusi
secara mikro sebagaimana pembahasan sebelumnya akan berbenturan dengan
tingkat permintaan, sehingga jika diteruskan dalam ekonomi riil ketika
sudah mencapai tahap ketidakseimbangan pasar, justru akan mengakibatkan
solusi ekonomi seperti ini tidak menguntungkan (tidak ekonomis).
Permasalahan ini sangat disadari oleh para pakar ekonomi Kapitalis
sendiri, apalagi pada tingkat praktisi (pengusaha), sehingga produksi
riil dilakukan dengan memperhatikan tingkat permintaan.
Solusi Secara Makro
Solusi
secara makro yakni pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya merupakan
suatu target ekonomi yang harus dikejar dan bersifat mutlak. Hanya saja
para pakar ekonomi Kapitalis dan pemegang kebijakan ekonomi harus
realistis dalam menentukan berapa target pertumbuhan ekonomi jika
dilihat keadaan ekonomi dari sisi potensi dan permasalahan yang dihadapi
suatu negara.
Meskipun harus realistis dalam memasang
target pertumbuhan ekonomi, setiap negara yang menganut perekonomian
Kapitalis (baik negara yang berideologi Kapitalis maupun negara yang
hanya menerapkan ekonomi Kapitalis) tetap menjadikan pertumbuhan ekonomi
sebagai suatu target yang harus dikejar, baik negara tersebut dalam
kondisi bom ekonomi (pertumbuhan ekonomi tinggi), resesi (pertumbuhan
ekonomi rendah dan cenderung stagnan), maupun dalam keadaan depresi
(pertumbuhan minus dalam beberapa tahun).
Pertumbuhan
ekonomi juga menjadi tolak ukur utama (indikator ekonomi) prestasi
ekonomi negara-negara maju dan prestasi pembangunan ekonomi
negara-negara berkembang. Di sisi lain berbagai indikator makro ekonomi
ditempatkan dalam dua posisi, yaitu mendesain beberapa indikator makro
ekonomi (seperti tingkat investasi, suku bunga, kurs mata uang lokal,
konsumsi, dan produksi) sebagai lokomotif atau penggerak pertumbuhan
ekonomi, dan menjadikan beberapa indikator makro ekonomi lainnya
(seperti tingkat pengangguran, kemiskinan) tergantung pada tingkat
pertumbuhan ekonomi.
Konsekwensinya, untuk mencapai
tingkat pertumbuhan ekonomi sesuai target (terlebih target pertumbuhan
ekonomi yang tinggi) maka tingkat produksi barang dan jasa domestik
secara agregat harus digenjot dengan cara meningkatkan investasi baik
investasi dalam negeri maupun investasi asing. Meningkatkan investasi
dalam negeri ditempuh melalui ekspansi kredit perbankan kepada pengusaha
dengan menurunkan tingkat suku bunga, meningkatkan pengeluaran
pemerintah yang dibiayai dari sumber-sumber dalam negeri dan pinjaman
luar negeri. Meningkatkan investasi asing ditempuh dengan membuka kran
investasi asing, liberalisasi perdagangan, liberalisasi keuangan, dan
liberalisasi berbagai bentuk usaha lokal bagi kepentingan investor.
Mencapai
produksi yang tinggi secara agregat harus diikuti peningkatan konsumsi
masyarakat. Maka untuk itu para produsen menciptakan suatu rekayasa
melalui sarana periklanan dan berbagai upaya lainnya agar dalam
masyarakat terbentuk pola hidup konsumtif. Di samping itu perbankan juga
didorong untuk lebih banyak memberikan kredit konsumtif dengan tingkat
bunga yang lebih rendah.
Dengan demikian, menjadikan
pertumbuhan ekonomi sebagai masalah utama perekonomian, mengharuskan
suatu negara meliberalisasi ekonominya bagi kepentingan investor dalam
negeri dan investor luar negeri sehingga setiap kebijakan ekonomi negara
tersebut haruslah kebijakan yang bersifat pro pasar. Adapun yang
dimaksud pasar di sini adalah transaksi ekonomi yang dilakukan oleh para
pelaku ekonomi baik pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Akan tetapi
pelaku pasar yang paling dominan dalam perekonomian Kapitalis adalah
pengusaha atau produsen yang mampu bersaing, artinya para pemilik modal
yang kuat (kapitalis). Sehingga kebijakan pemerintah yang pro pasar
adalah kebijakan pro pemilik modal (kapitalis), dan sekarang mereka
lazim disebut dengan istilah yang lebih halus yaitu investor.
Menjadikan
masalah produksi barang dan jasa setinggi-tinginya sebagai solusi
ekonomi dalam Sistem Ekonomi Kapitalis membuktikan bahwa bagi
Kapitalisme permasalahan ekonomi tidak terletak pada bagaimana memenuhi
kebutuhan manusia, akan tetapi terkonsentrasi pada bagaimana memproduksi
barang dan jasa. Maksudnya, perhatian sistem ini dalam memecahkan
permasalahan ekonomi adalah terhadap zat yang menjadi kebutuhan manusia,
bukan terhadap manusia itu sendiri atau dengan kata lain apakah
kebutuhan seorang individu itu sudah terpenuhi atau belum bukan menjadi
persoalan Sistem Ekonomi Kapitalis, justru yang menjadi persoalan adalah
produksi jalan tidak? Atau seberapa banyak kemampuan produksi yang
dapat dilakukan?.
Pandangan Tentang Nilai (Value) Barang
Pembahasan
tentang nilai (value) dalam Kapitalisme merupakan sesuatu yang sangat
urgen. Karena nilai merupakan suatu sarana untuk melihat faedah suatu
barang dan jasa, juga untuk menentukan kemampuan produsen dan konsumen.
Ada
dua katagori pembahasan tentang nilai barang dan jasa, yaitu pembahasan
yang berkaitan dengan nilai kegunaan suatu barang bagi individu yang
kemudian disebut nilai guna (utility value), dan pembahasan yang
berkaitan dengan nilai suatu barang terhadap barang lainnya yang disebut
nilai tukar (exchange value).
Adam Smith membedakan
antara nilai pemakaian (value in use) dengan nilai penukaran (value in
exchange). Namun muncul suatu paradoks (pertentangan dalam asas), yaitu
adanya barang yang tingkat pemakaiannya tinggi seperti air dan udara,
tetapi nilai tukarnya rendah bahkan bisa jadi tidak mempunyai harga sama
sekali. David Ricardo menambahkan, bahwa bergunanya suatu barang
merupakan syarat mutlak bagi berlakunya nilai tukar. Akan tetapi Sistem
Ekonomi Kapitalis pada masa mazhab klasik ini tidak dapat menyelesaikan
permasalahan paradox nilai di atas (Zimmerman: t.t.: 39-40).
Nilai Guna (Utility Value) Menurut Kapitalisme
Pembahasan
katagori pertama yang disebut nilai guna (utility value) dalam
Kapitalisme diwakili oleh pandangan teori kepuasan batas atau teori
kepuasan akhir (marginal satisfaction theory). Sedangkan yang dimaksud
dengan teori kepuasan batas (marginal satisfaction theory) atau guna
marginal (marginal utility disingkat MU) ialah kepuasan atau nilai
kegunaan yang diperoleh seseorang (konsumen) dari mengkonsumsi unit
terakhir barang yang dikonsumsinya (Reksoprayitno: 2000: 147). An
Nabhani juga menyebutkan bahwa nilai guna merupakan satuan dari satu
barang yang diukur berdasarkan kegunaan terakhir benda tersebut, atau
kegunaan pada satuan yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan yang
paling rendah (An Nabhani: 2000: 9). Nilai guna yang menjadi pandangan
Kapitalisme ini juga disebut “nilai subyektif” karena sifatnya yang
sangat subyektif bagi setiap individu.
Dalam pengukuran
nilai guna, diasumsikan bahwa tingkat kepuasan seseorang dapat diukur.
Sedangkan satuan ukur untuk mengukur kepuasan seseorang disebut util
(satuan kepuasan) (Ibid: 146).
Diasumsikan pula
(meskipun hal ini tidak realistis) bahwa kepuasan total dari
pengkonsumsian dua barang atau lebih dapat diperoleh dengan menjumlahkan
unit kepuasan yang diperoleh dari masing-masing barang yang dikonsumsi
(asumsi additive) (ibid). Misalnya bagi Faqih (menurut
subyektivitasnya) satu bungkus nasi kuning menghasilkan kepuasan 10 util
dan 1 cangkir teh panas menghasilkan 3 util, maka diperoleh kepuasan
total sebesar 13 util.
Asumsi berikutnya adalah semakin
banyak satuan suatu barang dikonsumsi individu, semakin kecil guna batas
yang diperoleh orang tersebut, bahkan akhirnya menjadi negatif. Teori
ini dikenal sebagai “hukum guna batas yang semakin menurun” (the law of
diminishing marginal utility) yang dikenal juga dengan sebutan “hukum
gossen I”, karena pandangan ini pertama kali dikemukakan oleh Hermann
Heirich Gossen (1810-1858 M) (ibid: 147) untuk menjawab kebuntuan
teori-teori mazhab klasik tentang paradoks nilai guna terhadap nilai
tukar.
Contoh teori ini adalah pada saat Faqih
mengkonsumsi 1 bungkus nasi kuning, maka bagi Faqih nilai guna nasi
kuning tersebut misalnya 10 util. Karena Faqih masih lapar maka dia
menambah lagi satu bungkus nasi kuning, dan baginya nilai satu nasi
kuning yang kedua ini tetap 10. Faqih sudah merasa kenyang, akan tetapi
uang di sakunya paling tidak masih cukup untuk membeli dua bungkus nasi
kuning, karena itu Faqih memutuskan untuk membeli satu bungkus lagi
dengan pertimbangan “ terlalu tanggung” untuk tidak membelanjakan sisa
uangnya. Karena sudah kenyang sehingga satu bungkus nasi kuning yang
ketiga ini tidak diperlukan Faqih akan tetapi ia menginginkannya, maka
Faqih menganggap nilai guna satu nasi kuning sudah turun menjadi 5 util.
Ketika
Faqih mau membayar belanjaannya kepada bibi penjual nasi kuning, bibi
tersebut membujuk Faqih agar membeli sisa jualan nasi kuningnya yang
tinggal satu bungkus. Tetapi Faqih tidak memenuhi permintaan tersebut.
Bibi penjual nasi kuning membujuk lagi dengan menurunkan harga satu
bungkus nasi kuning yang tersisa menjadi 25% dari harga semula, namun
Faqih tetap menolaknya. Mengapa Faqih tidak mau membeli satu bungkus
nasi kuning yang keempat meskipun harganya jatuh drastis? Jawabnya
adalah karena bagi Faqih satu bungkus nasi kuning yang keempat tersebut
tidak berguna lagi baginya, sebab ia sudah sangat kenyang sehingga tidak
membutuhkan makanan. Artinya pada saat itu, bagi Faqih nilai guna satu
bungkus nasi kuning yang keempat adalah 0 util. Bahkan jika Faqih mau
memenuhi permintaan bibi dan memakannya pada saat itu pula, maka
perutnya akan sesak sehingga ia sakit perut dan nasinya tidak dapat
dihabiskan, maka pada kondisi demikian nilai guna satu bungkus nasi
kuning yang keempat tersebut mencapai titik negatif, dan mungkin Faqih
menganggapnya nilai gunanya mencapai –10 util.
Bungkus Nasi Kuning
Yang ke (n)-
Guna Batas/
Marginal Utility (MUn)
Guna Total
Total Utility (TUn)
1
2
3
4
10
10
5
-10
10
20
25
15
Dari
contoh di atas, dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kepuasan
batas (marginal utility) bagi Faqih adalah pada saat ia mencapai tingkat
kepuasan total maksimum dengan makan satu bungkus lagi nasi kuning yang
ketiga, karena pada saat makan satu bungkus nasi kuning yang ketiga
itulah ia mendapatkan tambahan kepuasan terakhir yaitu sebesar 5 util
sehingga baginya nilai kepuasan yang dapat ia peroleh sebesar 25 util.
Jika ia membeli satu bungkus nasi kuning yang keempat, maka tidak
menambah kegunaan apa-apa baginya, dan jika satu bungkus nasi kuning
yang keempat tersebut dimakannya, maka nilai guna total yang
dinikmatinya malah menurun menjadi 15 util. Jadi menurut teori ini,
kepuasan maksimum bagi Faqih adalah ketika Faqih mengkonsumsi nasi
kuning sebanyak 3 bungkus.
Berdasarkan paparan di atas,
maka jelas bahwa yang dimaksud nilai guna suatu barang dan jasa dalam
kapitalisme ditentukan oleh penilaian subyektif individu dari satu unit
atau beberapa unit barang yang dikonsumsinya pada saat mencapai kepuasan
maksimum. Dengan demikian berdasarkan “hukum guna batas yang semakin
menurun”, pada titik tertentu nilai guna suatu barang menurun, pada
titik tertentu pula suatu barang tidak dianggap berguna bagi individu,
dan bahkan pada titik negatif barang tersebut dianggap sama sekali tidak
berguna. Nah ... Dalam pandangan ini, maka seorang individu dituntut
mengkonsumsi barang sebanyak-banyaknya (rakus) sampai batas kepuasan
maksimum bukan sampai batas sesuai kebutuhan.
Nilai Tukar (Exchange Value) Menurut Kapitalisme
Nilai
tukar (exchange value) didefinisikan sebagai kekuatan tukar suatu
barang dengan barang lainnya atau nilai suatu barang yang diukur dengan
barang lainnya (An Nabhani: 10: 2000). Misalnya dalam suatu masyarakat,
nilai seekor kambing setara dengan 50 ekor ayam, atau contoh lainnya
sebungkus nasi kuning dihargai sebanyak 4 gelas teh panas.
Sedangkan
untuk mencapai mekanisme pertukaran yang sempurna atau untuk
menghindari kesulitan penaksiran nilai tukar suatu barang terhadap
barang lainnya, maka harus ada alat tukar (medium of exchange) yang
menjadi ukuran bagi semua barang dan jasa (ibid). Uang merupakan alat
tukar yang memudahkan transaksi.
Pertemuan antara uang
dengan barang yang dinilai dengan sejumlah uang disebut harga (price).
Jadi harga merupakan sebutan khusus nilai tukar suatu barang. Atau
dapat dikatakan perbedaan antara nilai tukar dengan harga adalah niai
tukar merupakan penisbatan pertukaran suatu barang dengan barang-barang
lainnya secara mutlak, sedangkan harga merupakan penisbatan nilai tukar
suatu barang dengan uang.
Pembahasan katagori kedua
nilai barang ini dalam Kapitalisme menempatkan harga sebagai suatu
sebutan khusus nilai tukar dalam pembahasan yang sangat penting.
Struktur Harga
Secara garis besar, tingkat harga barang dan jasa ditentukan oleh kekuatan permintaan (demand) dan kekuatan penawaran (supply).
Bila
harga dilihat dari harga itu sendiri yang kemudian mempengaruhi tingkat
permintaan dan penawaran, maka dapat diilustrasikan sebagai berikut:
ketika harga naik produsen meningkatkan jumlah produksi dan konsumen
menurunkan konsumsinya. Sebaliknya ketika harga turun produsen
menurunkan produksi dan konsumen meningkatkan konsumsinya. Logika teori
ini tidak terjadi secara mutlak dan mengharuskan adanya syarat-syarat
(asumsi) agar teori tersebut terjadi, seperti faktor-faktor lainnya
dianggap tetap (cateris paribus).
Secara riil teori
tersebut belum tentu terjadi, karena ada beberapa jenis barang dan jasa
yang ketika harga naik konsumen tidak menurunkan konsumsinya selama dia
masih mampu membayar, seperti beras.
Juga belum tentu
produsen meningkatkan produksi ketika harga barang yang diproduksinya
naik, karena kemungkinan rugi yang akan dialaminya jika meningkatkan
tingkat produksi, begitu pula sebaliknya.
Bila harga
dilihat dari kekuatan permintaan dan penawaran sehingga mempengaruhi
harga, maka dapat diilustrasikan sebagai berikut: ketika penawaran naik
yang disebabkan kelebihan produksi dan di sisi lain permintaan konsumen
tidak naik (atau mengalami penurunan), maka terbentuklah keseimbangan
baru dengan turunnya tingkat harga. Ketika penawaran turun yang
disebabkan oleh turunnya tingkat produksi sementara permintaan tidak
berubah (atau mengalami kenaikan), maka harga akan meningkat.
Kemudian
kekuatan permintaan dan kekuatan penawaran masing-masing dipengaruhi
oleh faktor kemampuan internal yang juga diukur dengan harga.
Dalam
kekuatan penawaran, di mana tingkat penawaran berdasarkan jumlah
produksi maksimal yang dapat dilakukan produsen atau jumlah produksi
yang diinginkan produsen sangat ditentukan oleh seberapa besar biaya
produksi yang harus ditanggung produsen dan kemampuan produsen itu
sendiri dalam menannggung biaya produksi tersebut. Dengan demikian biaya
produksi atau harga produksi yang meliputi biaya modal, bahan baku,
upah, sewa, pajak, bunga, dan lain-lainnya, merupakan faktor utama yang
menentukan kemampuan produksi produsen.
Kekuatan
permintaan konsumen ditentukan oleh kegunaan barang dan jasa yang
ditawarkan bagi konsumen, kebutuhan konsumen akan barang dan jasa
tersebut, dan kemampuannya dalam membeli atau kekuatan daya beli
konsumen. Dari ketiga faktor tersebut, faktor kekuatan daya beli
konsumenlah yang pada akhirnya menentukan kekuatan permintaan.
Maksudnya,
ketika suatu barang yang ada di pasaran dianggap memiliki kegunaan bagi
konsumen, maka ia sudah tertarik atau menginginkan barang tersebut.
Akan tetapi faktor ini belum terlalu kuat untuk menciptakan permintaan
konsumen bersangkutan.
Selanjutnya faktor kebutuhan
(apalagi kebutuhan yang mendesak) konsumen terhadap barang tersebut
memberikan dorongan yang kuat bagi konsumen untuk memiliki dan
mengkonsumsinya, sehingga faktor ini memberikan dorongan kuat konsumen
dalam melakukan permintaan.
Meskipun demikian faktor
kedua ini tidak mutlak juga, karena ada saja orang yang memutuskan ingin
membeli suatu barang bukan karena pertimbangan kebutuhan, tetapi
semata-mata hanya ingin memiliki dan mengkonsumsi barang tersebut,
apalagi dalam suatu masyarakat yang memiliki pola hidup konsumtif,
keputusan membeli bukanlah karena kebutuhan.
Hanya saja
sampai pada tahap faktor kedua ini, dorongan tersebut belum
terealisasikan sehingga permintaan secara nyata di pasar belumlah
terbentuk. Untuk merealisasikannya maka konsumen harus membeli barang
yang dibutuhkannya atau kecuali jika ada pihak dermawan yang memberikan
barang yang dimintanya secara cuma-cuma. Sehingga keputusan jadi membeli
atau tidak sangat tergantung pada daya beli yang dimiliki konsumen, di
mana daya beli ini ditentukan oleh pendapatan konsumen dan harta
kekayaan yang dimilikinya. Jadi kekuatan daya beli yang juga diukur
dengan harga merupakan faktor akhir yang menentukan permintaan konsumen.
Harga dan Peranannya dalam Perekonomian
Paling
tidak ada dua fungsi harga dalam Sistem Ekonomi Kapitalis, yaitu
sebagai standar nilai barang dan peranannya dalam menentukan kegiatan
produksi – konsumsi – distribusi.
Harga sebagai Standar Nilai Barang
Dalam
pembahasan sebelumnya disebutkan bahwa nilai guna suatu barang
merupakan batas akhir konsumsi barang yang masih memberikan kegunaan
bagi individu, sehingga bagi individu pada saat titik tertentu suatu
barang bernilai guna, kemudian nilai gunanya menurun seiring dengan
menurunnya tingkat kepuasan yang dia peroleh dari mengkonsumsi barang
tersebut, dan barang tersebut dianggap tidak berguna (nilai batasnya =
0) bagi si individu ketika barang tersebut tidak memberikan kepuasan,
dan pada saat titik tertentu nilai guna suatu barang dianggap negatif
baginya karena jika dia mengkonsumsi barang tersebut, dia tidak
mendapatkan tambahan kepuasan tetapi sebaliknya menurunkan tingkat
kepuasan total yang diperolehnya.
Maka dalam pembahasan
harga sebagai standar nilai barang, harga menentukan barang apa yang
memiliki kegunaan (utility) dan barang apa yang tidak memiliki kegunaan
(disutility), juga harga menentukan seberapa tinggikah tingkat kegunaan
suatu barang (An Nabhani: 2000: 11).
Bagi masyarakat,
suatu barang atau jasa yang dianggap memiliki kegunaan dengan memberikan
ukuran tertentu bahwa barang tersebut mempunyai harga. Sedangkan
tingkat kegunaan diukur dengan tingkat harga yang diterima masyarakat
atas barang dan jasa yang bersangkutan yang telah ditawarkan produsen.
Dan sebaliknya, suatu barang tidak dianggap berguna ketika masyarakat
tidak memberikan harga terhadap barang tersebut.
Peranan Harga dalam Kegiatan Ekonomi Kapitalis
Bagi Sistem Ekonomi Kapitalis, harga mempunyai peranan dalam kegiatan produksi, konsumsi, dan distribusi melalui struktur harga.
Peranan Harga dalam Area Produksi
Dalam
ruang lingkup produksi, harga menentukan siapa saja produsen yang boleh
masuk ke dalam area produksi dan siapa saja yang tidak boleh masuk atau
keluar dari area produksi (ibid: 12).
Struktur harga
dengan sendirinya akan mengatur dan menyaring produsen berdasarkan
tingkat kemampuan produsen dalam menanggung biaya produksi yang meliputi
biaya pengadaan barang modal, biaya gedung dan tanah, biaya bahan baku,
biaya upah buruh dan manajemen, biaya pemeliharaan, biaya bunga, biaya
pajak, dan lain-lainnya.
Kemudian struktur harga juga
akan menyaring para produsen yang tetap bertahan di area produksi,
ketika beban biaya produksi masih dapat ditanggung produsen yang mungkin
disebabkan oleh masih adanya persediaan modal yang dimiliki produsen
tersebut, atau karena kemampuan inovasi produsen dalam mengelola
manajemen yang efisien dan kualitas produksi yang memenuhi selera pasar,
atau juga disebabkan karena produsen tersebut melakukan praktik tidak
fair dengan merusak harga pasar, monopoli, atau praktik-praktik curang
lainnya yang membuat produsen saingannya terlempar dari area produksi.
Mekanisme
persaingan ekonomi seperti ini dengan menjadikan harga sebagai alat
yang mengendalikan produsen dalam area produksi, maka kepemilikan
produksi dalam Sistem Ekonomi Kapitalis ditentukan oleh kekuatan modal
yang dimiliki para produsen, sehingga rakyat lemah yang tidak memiliki
kemampuan modal akan terlempar dari area produksi dan akhirnya menjadi
masyarakat pinggiran (marginal society).
Peranan Harga dalam Menentukan Konsumsi
Dalam
ruang lingkup konsumen, harga merupakan alat pengendali yang menentukan
kemampuan konsumen dalam memenuhi berbagai kebutuhan dan keinginannya.
Harga merupakan mekanisme yang menyisihkan orang-orang miskin dan fakir
dari perekonomian karena ketidakmampuannya dalam menjangkau tingkat
harga. Harga merupakan mekanisme yang mempersilahkan orang-orang mampu
untuk membeli kekayaan yang mereka kehendaki dengan uang yang mereka
miliki. Harga pula yang membuat hidup orang pas-pasan. Bahasa kasarnya,
harga merupakan mekanisme yang menentukan siapa saja orang yang berhak
hidup dan siapa saja yang harus menyingkir dari kehidupan.
Misalnya
dengan tingkat biaya pelayanan kesehatan dan harga obat-obatan yang
tinggi sekarang ini, hanya orang-orang yang berduitlah yang mampu
membayar sehingga mereka mendapatkan pelayanan kesehatan baik di rumah
sakit maupun di klinik kesehatan. Sedangkan orang-orang yang kurang
mampu atau orang-orang yang hidupnya pas-pasan, ketika mereka sangat
membutuhkan pengobatan, mereka harus melakukan upaya maksimal untuk
memperoleh uang yang cukup termasuk dengan cara berutang agar mereka
dapat membayar biaya pelayanan kesehatan dan harga obat-obatan yang
selangit. Ketika mereka tidak mampu memperoleh sejumlah uang yang
diperlukan, maka mereka terpaksa pasrah membiarkan diri atau keluarganya
yang sakit tanpa pengobatan.
Contoh lainnya adalah
kebijakan penghapusan subsidi perguruan tinggi oleh pemerintah yang
mengakibatkan biaya pendidikan, terutama biaya pendidikan di perguruan
tinggi pavorit meningkat tajam sehingga sangat sulit dijangkau oleh
masyarakat golongan menengah ke bawah. Kebijakan ini akhirnya menentukan
siapa saja para pemuda Indonesia yang layak melanjutkan pendidikan ke
perguruan tinggi, bahkan beberapa perguruan tinggi memberikan tempat
istimewa bagi orang-orang kaya melalui “jalur khusus.”
Dua
contoh di atas menggambarkan bahwa harga merupakan kekuatan yang
menyaring orang-orang yang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dan
pendidikan. Harga juga menentukan siapa saja konsumen (anggota
masyarakat) yang bisa mendapatkan berbagai kebutuhan pokok seperti
sembako, BBM, listrik, air, dan tempat tinggal, juga untuk mendapatkan
berbagai kebutuhan sekunder dan tersiernya seperti telepon, komputer,
mobil, sehingga harga menentukan masyarakat mana yang dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya secara wajar, berlebihan, atau secara minimal. Dengan
tersaringnya kelompok-kelompok masyarakat sehingga sebagian di antara
mereka memenuhi kebutuhan hidupnya secara minimal, maka Sistem Ekonomi
Kapitalis telah menetapkan mereka tidak layak hidup.
Struktur Harga sebagai Metode Distribusi Ekonomi Kapitalis
Struktur
harga sebagai titik pertemuan antara penawaran produsen dan permintaan
konsumen merupakan metode distribusi ekonomi dalam Sistem Ekonomi
Kapitalis.
Pertemuan antara tingkat harga yang berlaku
di pasar dengan keputusan konsumen untuk membeli barang dan jasa
merupakan sarana penyaring mana barang yang laku dan tidak laku. Kedua
keadaan tersebut memiliki konsekwensi masing-masing.
Konsekwensi
pertama terhadap barang yang laku di pasaran adalah kemungkinan
keuntungan yang diperoleh produsen. Pada saat produsen untung inilah ia
akan memutuskan apakah tingkat produksi (penawaran) tetap ataukah
dinaikkan.
Konsekwensi kedua terhadap barang yang tidak
laku di pasaran adalah kemungkinan kerugian yang dialami produsen. Di
mana pada saat itu, ketika produsen masih dapat menanggung kerugian yang
dialaminya maka ia tetap melakukan produksi meskipun dengan menurunkan
tingkat produksinya. Sebaliknya, ketika produsen tidak mampu lagi
menanggung kerugian, maka baginya harus menghentikan produksi atau
dengan kata lain menutup usahanya.
Kombinasi dua
konsekwensi tersebut menghasilkan atau mengubah laju produksi
sebelumnya. Adapun yang dimaksud laju produksi menyangkut tiga hal,
yaitu barang apa saja yang diproduksi? Berapa banyak diproduksi? Dan
untuk siapa barang tersebut diproduksi?
Bagi produsen,
barang yang diproduksi adalah barang dan jasa yang menghasilkan
keuntungan, yakni barang yang laku di pasaran. Sedangkan tingkat
produksi disesuaikan dengan tingkat permintaan konsumen dengan
berdasarkan kemampuan produksi yang dimiliki produsen.
Maksud
dari “untuk siapa barang tersebut diproduksi” adalah barang dan jasa
tersebut diproduksi untuk memenuhi “permintaan konsumen”. Ruang lingkup
“permintaan konsumen” bukanlah konsumen secara keseluruhan atau
masyarakat pada umumnya, tetapi sekelompok konsumen atau sebagian
masyarakat yang melakukan permintaan atas barang dan jasa yang
ditawarkan produsen. Di mana kemampuan konsumen melakukan permintaan
bergantung pada kekuatan daya belinya. Jadi hanya bagi konsumen yang
mampulah barang dan jasa yang diproduksi diperuntukkan, bukan bagi
orang-orang yang tidak mampu atau golongan miskin.
Dua
titik pertemuan antara “permintaan konsumen” yang memiliki kemampuan
dengan penawaran produsen yang memiliki kemampuan produksi menghasilkan
keseimbangan ekonomi (economic equilibrium). Sebagaimana penjelasan
sebelumnya, bahwa harga menentukan siapa saja yang dapat masuk ke dalam
area produksi dan siapa saja konsumen yang dapat mengkonsumsi barang dan
jasa. Inilah yang dimaksud dengan harga sebagai metode distribusi
ekonomi.
Distribusi bagi produsen adalah ketika harga
(biaya produksi) menentukan harus berhenti berproduksi atau tetap mampu
berproduksi. Bagi produsen yang tetap mampu berproduksi, maka ia harus
mengevaluasi dan mengatur kembali barang apa saja yang diproduksi
(termasuk masalah kualitas), berapa banyak harus diproduksi, dan
kelompok konsumen mana yang dibidik.
Distribusi bagi
konsumen adalah ketika harga mengharuskannya menghitung-hitung
kemampuannya dalam membeli barang dan jasa. Harga membuat sekelompok
konsumen yang mampu dapat memenuhi segala kebutuhan dan keinginannya.
Harga membuat sekelompok konsumen yang kurang kemampuannya untuk secara
tidak penuh mengkonsumsi barang dan jasa yang dibutuhkannya. Harga pula
membuat konsumen yang sama sekali tidak mampu untuk gigit jari karena
tidak dapat mengkonsumsi barang yang dibutuhkannya.
Harga sebagai Pendorong Produksi
Aktivitas
produksi yang dilakukan produsen sangat tergantung kepada kemampuan
produsen untuk menanggung biaya produksi, di mana salah satu biaya
produksi yang harus ditanggung oleh produsen adalah biaya upah. Atas
dasar ini, maka ada dua pihak yang bersinergi melakukan produksi, yaitu
pengusaha selaku produsen dan pekerja selaku orang yang memberikan jasa
kepada pengusaha dalam melakukan aktivitas produksi.
Bagi
pengusaha, menggalang modal untuk melakukan produksi merupakan suatu
usaha untuk memperoleh keuntungan (profit). Sedangkan bagi pekerja
(buruh, karyawan, dan manajer) kesediaannya berada di bawah pengusaha
dengan melakukan aktivitas produksi merupakan suatu usaha untuk
mendapatkan upah.
Keuntungan yang diperoleh pengusaha
dan upah yang didapatkan pekerja esensinya adalah harga. Keuntungan bagi
pengusaha merupakan harga yang dia peroleh dari konsumen, sedangkan
upah bagi pekerja merupakan harga yang harus dibayar pengusaha. Dengan
demikian harga merupakan pendorong produksi.
Dari
penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa produksi atau
aktifitas produktif yang dilakukan manusia dalam pandangan Kapitalisme
merupakan suatu pengorbanan manusia yang didorong oleh insentif materi.
No comments:
Post a Comment